Manajemen Pangan Nasional

Kali ini saya akan berbagi tentang Manajemen Pangan Nasional kepada teman-teman. Adapun tujuan artikel ini ditulis untuk menambahkan pengetahuan kita tentang Ilmu Manajemen. Jika sahabat blogger punya kritik dan saran tentang artikel Manajemen Pangan Nasional silahkan komentar dibawah, ya.. Silahkan Langsung saja simak artikel tentang Manajemen Pangan Nasional di bawah ini.
manajemen pangan
Kali ini Berbagi Ilmu Tentang Manajemen sharing tentang Manajemen Pangan Nasional yaitu salah satu artikel dari Rahmat Pramulya, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat.  Beliau sangat peduli dengan krisis pangan yang mulai mengancam negara kita berikut cuplikannya :
Ancaman krisis pangan terus melambungkan harga-harga pangan, mulai dari beras, sayur-sayuran, daging/ ikan dan bahan kebutuhan pangan lainnya. Kondisi alam (La Nina) disebut-sebut sebagai penyebab krisis pangan saat ini, selain isu lama global warming. Pemerintah pun telah mengambil ancang-ancang untuk melakukan impor beras sembari sejenak melupakan cita-cita swasembada yang telah lama digaungkan.

Mencermati situasi ini, ada satu hal yang mestinya harus diperhatikan secara serius oleh pemerintah, yaitu soal sistem Manajemen Pangan Nasional. Semestinya waktu 65 tahun merdeka sangat cukup bagi bangsa ini untuk memiliki sebuah sistem manajemen pangan yang handal. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, pengalaman demi pengalaman berharga soal pengelolaan pangan nasional seharusnya sudah tertorehkan.

Di era Orde Lama, Presiden RI pertama, Ir Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa negara mengemban tugas penting dalam persoalan pangan. Bahkan dikatakannya, bicara pangan adalah bicara soal hidup dan matinya bangsa. "Cukupkah persediaan makanan rakyat kita di kemudian hari?" demikian sepenggal pertanyaan yang dilontarkan Soekarno kala itu.

Dengan segala kekurangan dan kelebihan pemerintahan saat itu, dapat ditarik pelajaran bahwa soal pangan demikian penting. Krisis pangan bahkan bisa menyeret jatuhnya wibawa kepemimpinan kala itu.

Di era Orde Baru, pembelajaran Manajemen Pangan Nasional dapat tergali begitu banyaknya. Program Bimas (Bimbingan Massal), sebuah program yang didisain untuk meningkatkan produksi padi tercatat telah membuahkan keberhasilan swasembada beras di tahun 1984 yang sekaligus menyisakan setumpuk problem pertanian pangan lantaran kuatnya Bimas mengadopsi Revolusi Hijau. Di era Presiden BJ Habibie, pembangunan pertanian (pangan) berkebudayaan industri menjadi kebijakan pangan yang demikian menonjol. Sayangnya, kebijakan ini pun hanya numpang lewat karena tidak diikuti dengan operasionalisasi yang serius di lapangan.

Yang tak kalah fenomenalnya adalah saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Mulai dari kampanye hingga deklarasi ketahanan pangan terus disuarakan. Pemerintah, perguruan tinggi, dunia bisnis, organisasi tani, maupun lembaga swadaya masyarakat dituntut memberikan dukungan kereka dalam mewujudkan ketahanan pangan. Isu ketahanan pangan terus bergulir dan membesar. Hingga kini di era kepemimpinan SBY, soal ketahanan pangan masih menjadi isu strategis di pemerintahan. Berbagai perangkat perundangan pun telah dilahirkan demi mewujudkan ketahanan pangan, mulai dari UU No. 7/1996 tentang Pangan, PP No 68/2002 tentang Ketahanan Pangan, hingga Perpres No. 22/2009 dan Permentan No. 43/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumberdaya Lokal.

Namun jika dicermati mengapa soal ketahanan pangan kita seperti jalan di tempat? Krisis pangan selalu saja mendera. Harga-harga pangan terus melambung. Akses pangan pun kian sulit bagi masyarakat bawah. Apakah ini bukti bahwa sistem pangan kita amburadul?

Ada tiga komponen penting dalam sistem pangan nasional yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Sistem pangan kita akan tangguh jika kita dapat menjamin ketiga komponen penting tersebut. Untuk menjamin ketersediaan pangan aman, maka berbagai strategi produksi mulai dari tata guna lahan, input teknologi bibit, penyediaan pupuk, pengendalian hama terpadu, hingga strategi pembiayaan usaha tani selama ini telah menjadi tugas sehari-hari Kementerian Pertanian. Persoalannya sekarang, pemerintah belum berhitung dengan serius seberapa besar stok pangan yang aman.

Produksi padi di posisi menjelang akhir tahun ini dirasa tak cukup memenuhi kebutuhan penduduk di seluruh wilayah. Jika saja pangan lokal dijadikan kebijakan serius, sesungguhnya kekurangan beras bisa ditutup dengan stok pangan non beras yang potensinya cukup melimpah. Tinggal bagaimana disiapkan teknologi yang tepat untuk menjadikannya sebagai sumber pangan pengganti beras. Tak hanya teknologi budidaya yang dapat memacu produktivitas panen, juga perlu disiapkan teknologi penyimpanan maupun teknologi pengolahan yang mampu menjadikan sumber pangan non beras itu tepat dijadikan cadangan pangan (memiliki umur simpan yang panjang).

Selain menyangkut sarana prasarana teknis agar bahan pangan dapat sampai di seluruh wilayah tanah air, juga perlu dicermati dari sisi akses masyarakat terhadap pangan. Sementara, tak mudah menjamin distribusi pangan yang adil. Di sini sangat dibutuhkan sentuhan kebijakan harga. Agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan pangan, maka politik pangan negara mestinya mengarah bagaimana pangan itu bisa murah. Ide pengembangan pangan lokal sebenarnya bisa menjawab permasalahan ini.

Namun, lagi-lagi disayangkan kebijakan pengembangan pangan lokal pun tampak masih setengah hati. Pemerintah belum all out dalam mewujudkan kebijakan pengembangan pangan lokal ini. Sekedar contoh, pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal masih sekedar muncul di lomba-lomba yang kental seremoni. Usai lomba, usai pula nasib pangan lokal. Masyarakat pun dibiarkan kembali bertarung untuk bisa mengakses pangan-pangan yang mahal dan tidak diseru untuk mengkonsumsi pangan lokal yang relatif mudah dijangkau harganya.

Dari sisi konsumsi, menjadi penting untuk diperhatikan bagaimana pola konsumsi masyarakat kita yang masih didominasi oleh kelompok padi-padian. Bahwa pola konsumsi pangan harus beragam, bergizi, dan berimbang (3B) tampaknya belum dipahami masyarakat luas. Belajar dari keberhasilan kampanye 'Empat Sehat Lima Sempurna', mestinya kampanye 3B ini perlu terus digencarkan. Barangkali tak banyak dari kita yang tahu seperti apa konsep 3B ini.

Apalagi pemerintah menargetkan terjadi kenaikan skor Pola Pangan Harapan (PPH) dari 75,7 di tahun 2009 menjadi 93,3 di tahun 2014. Skor PPH adalah sebuah ukuran yang menunjukkan keragaman pola konsumsi pangan masyarakat, baik yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, hasil ternak/ikan, sayur-sayuran serta buah-buahan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dari sisi konsumsi inilah diverfisikasi pangan perlu digenjot.

Diversifikasi pangan menjadi penting mengingat kita memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang luar biasa besar yang hingga kini belum termanfaatkan dengan baik. Sayangnya, yang terjadi justru kita telah masuk dalam perangkap pangan (food trap) negara maju. Beberapa komoditas pangan yakni gandum, kedelai, jagung, daging ayam ras, daging sapi, dan susu, Indonesia masih tergantung dari impor. Bahkan untuk komoditas gandum, kedelai, dan daging sudah dikategorikan kritis.

Kepemimpinan yang tidak efektif merupakan salah satu sebab mengapa Indonesia tak jua memiliki sistem manajemen pangan yang handal. Para pemimpin negeri ini seharusnya bisa merancang sistem yang handal demi menopang stabilitas pangan nasional. Masalah pangan seharusnya tidak diletakkan pada pasar global, tetapi pada kemampuan rakyat suatu negara.

Demikian cuplikan artikel Manajemen Pangan Nasional. semoga bermanfaat.

0 comments:

Post a Comment